Senin, 31 Mei 2010

Latar Belakang Historis dan Arah Perkembangan Teknik Industri

Sejak kapankah disiplin dan/atau profesi Teknik Industri (Industrial Engineering) lahir dan dikenal orang? Sebagai sebuah disiplin kecabangan dari ilmu keteknikan/teknologi secara formal orang mengenalinya sekitar pertengahan tahun 1900-an, setelah sebelumnya orang mengenal terlebih dahulu beberapa disiplin seperti Teknik Sipil, Teknik Mesin, Teknik Elektro, Teknik Kimia dan berbagai macam derivasi disiplin-disiplin tersebut. Namun, agak berbeda dengan disiplin keteknikan yang lain, orang seringkali menjumpai berbagai kesulitan didalam mencoba mendefinisikan secara konkrit mengenai karakteristik, ciri spesifik, maupun ruang lingkup yang berkaitan dengan fungsi maupun peran disiplin Teknik Industri ini didalam menjawab tantangan dan persoalan di dunia industri.
Orang seringkali sulit sekali menempatkan disiplin Teknik Industri ini didalam ranah habitat “engineering” yang begitu mengunggulkan kemampuan dan kompetensi merancang --- bisa berupa rancangan produk ataupun rancangan proses --- dengan berlandaskan analisa pendekatan kuantitatif dan serba eksak. Disisi lain problematika industri yang dijumpai seringkali juga lebih cenderung begitu kompleks, gampang berubah, penuh unsur ketidak-pastian, abstraktif dan sulit untuk diramalkan dengan pendekatan obyektif; sehingga memerlukan penyelesaian yang lebih bersifat sistemik, holistik, dan komprehensif-integral. Proses pengambilan keputusan didalam menyelesaikan persoalan tidak lagi bisa dilakukan secara parsial, sepotong-potong, dan linier; akan tetapi haruslah dilakukan dengan pola pikir dan tindak lateral dengan segala macam pertimbangan yang multi-dimensional, kualitatif dan terkadang memerlukan kepekaan intuitif . Problematika industri tidaklah semata ditentukan oleh sub-sistem materi (material sub-system) yang serba eksak, melainkan juga dipengaruhi lebih banyak lagi oleh sub-sistem manusia (human sub-system) dengan perilaku yang lebih sulit untuk diduga. Problematika industri selain akan tergantung pada faktor produksi pasif (bahan baku, mesin, gedung, ataupun fasilitas produksi lainnya), juga akan banyak dipengaruhi oleh faktor produksi aktif yaitu manusia (baik sebagai individu maupun kelompok kerja) dengan segala macam perilakunya (Wignjosoebroto, 1995).
Sebagai disiplin ilmu keteknikan yang tergolong “baru”, profesi Teknik Industri lahir sejak ada persoalan produksi, sejak manusia harus mewujudkan sesuatu untuk memenuhi keperluan hidupnya, dan sejak manusia ada (Taroepratjeka, 1999). Kelahiran profesi Teknik Industri memiliki akar kuat dari proses Revolusi Industri yang membawa perubahan-perubahan didalam banyak hal. Awal perubahan yang paling menyolok adalah dalam hal diketemukannya rancang bangun mesin uap (steam engine) oleh James Watt yang mampu berperan sebagai sumber energi untuk berproduksi; sehingga manusia tidak lagi tergantung pada energi ototi ataupun energi alam, dan yang lebih meyakinkan lagi manusia bisa memanfaatkan sumber energi tersebut dimanapun lokasi kegiatan produksi akan diselenggarakan. Perubahan lain yang pantas untuk dicatat sebagai tonggak (milestone) kelahiran profesi Teknik Industri adalah diterapkannya rekayasa tentang tata-cara kerja (methods engineering) dan pengukuran kerja (work measurement) yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas kerja. Langkah-langkah strategis yang dikerjakan oleh Taylor, Gilbreths, Fayol, Gantt, Shewart, dan sebagainya telah menghasilkan paradigma-paradigma baru yang beranjak dari struktur ekonomi agraris menuju ke struktur ekonomi produksi/industri (Wignjosoebroto, 2000).
Sebenarnya apa-apa yang telah dilakukan oleh Taylor, dkk itu bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri dan terlepas dari apa-apa yang telah dikerjakan oleh oleh para pioneer T.Industri sebelumnya. Bila istilah produksi maupun industri akan dipakai sebagai kata kunci yang melatar- belakangi lahirnya profesi Teknik Industri; maka setidak-tidaknya dalam hal ini Adam Smith (The Wealth of Nations, 1776) dan Charles Babbage (On Economy of Machinery and Manufacturers, 1832) telah mengemukakan konsep peningkatan produktivitas melalui efisiensi penggunaan tenaga kerja dan pembagian kerja berdasarkan spesialisasi/keahlian. Fokus dari apa yang diteliti, dikaji dan direkomendasikan oleh Smith maupun Babbage ini tampaknya memberikan motivasi kuat bagi Frederick W.Taylor (The Principles of Scientific Management, 1905) untuk menempatkan “engineer as economist” didalam perancangan sistem produksi di industri, dimana konsep yang dikembangkan berkisar pada dua tema pokok, yaitu (a) telaah mengenai “interfaces” manusia dan mesin dalam sebuah sistem kerja, dan (b) analisa sistem produksi untuk memperbaiki serta meningkatkan performans kerja yang ada. Apa-apa yang telah dilakukan oleh Taylor --- atas segala jasa yang telah dilakukannya, Frederick W.Taylor ini kemudian diberi gelar sebagai “the father of industrial engineering” --- dan para pioneer keilmuan Teknik Industri lainnya (kebanyakan dari mereka memiliki latar belakang insinyur) juga telah membuka cakrawala baru dalam pengembangan dan penerapan sains-teknologi demi kemaslahatan manusia (Emerson and Naehring, 1988).
Dalam hal ini penerapan sains, teknologi dan ilmu keteknikan (engineering) tidak harus selalu terlibat dalam masalah-masalah yang terkait dengan persoalan perancangan perangkat keras (hardware) berupa teknologi produk maupun teknologi proses saja; akan tetapi juga ikut bertanggung-jawab didalam pengembangan perangkat teknologi lainnya (software, organoware dan brainware). Kalau sebelumnya profesi insinyur lebih terpancang pada peningkatan produktivitas melalui “sumber daya pasif” (material, mesin, alat/fasilitas kerja), maka selanjutnya langkah yang dimulai oleh Taylor, dkk ini akan menempatkan manusia sebagai “sumber daya aktif” yang harus dikelola dengan sebaik-baiknya melalui kiat-kiat pengendalian manusia yang sungguh sangat spesifik. Signifikansi faktor manusia yang harus dilibatkan dalam perancangan teknologi produksi telah menempatkan rancangan sistem kerja yang awalnya cenderung serba rasional-mekanistik menjadi tampak jauh lebih manusiawi. Disini manusia tidak lagi dipandang sekedar sebagai faktor produksi (tenaga kerja) seperti halnya material, mesin atau sumber daya produksi lainnya, akan tetapi akan dilihat secara lebih utuh.
Sebagai sumber daya aktif, perilaku manusia baik secara individu pada saat berinteraksi dengan mesin dalam sistem manusia-mesin dan lingkungan fisik kerja, maupun pada saat berinteraksi dengan sesama manusia lain dalam sebuah aktivitas kelompok kerja akan memberi pengaruh signifikan dalam setiap upaya peningkatan produktivitas. Persoalan perancangan tata-cara kerja di lini produksi nampak terus terarah pada upaya mengimplementasikan konsep “human-centered engineered systems” untuk perancangan teknologi produksi dengan melibatkan unsur manusia didalamnya. Demikian juga sesuai dengan ruang lingkup industri yang pendefinisannya terus melebar-luas --- dalam hal ini industri akan dilihat sebagai sebuah sistem skala besar yang komprehensif-integral --- maka persoalan industri tidak lagi cukup dibatasi oleh pemahaman tentang perancangan teknologi produk dan/atau teknologi proses dalam ruang lingkup industri yang berskala mikro dan berdimensi operasional saja; akan tetapi juga mencakup ke persoalan organisasi dan manajemen industri dalam skala yang lebih luas, makro, kompleks dan berdimensi strategis. Problem industri tidak lagi berada didalam dinding-dinding industri yang rigid-terbatas, tetapi terus bergerak merambah menuju ranah lingkungan luar sistem-nya. Solusi persoalan tidak lagi cukup didekati dengan proses pengambilan keputusan yang bersifat sepotong-potong dan parsial, melainkan memerlukan solusi-solusi yang berbasiskan pemahaman mengenai konsep sistem, analisis sistem dan pendekatan sistem (Wignjosoebroto, 1997).
(http://www.its.ac.id/personal/files/pub/2851-m_sritomo-ie-PERAN%20PERAN%20STRATEGIS%20DISIPLIN%20TEKNIK%20INDUSTRI.pdf)

1 komentar:

  1. mampir dulu di http://indonugraha.blogspot.co.id/
    tentang teknik industri

    BalasHapus